Love
based accounting education is a concrete understanding about education
interaction based on trust, honesty and to banish doubt and treasons. Love in education
should always be directed towards love to Allah SWT. This is Tawhid. By doing this,
education will be freed from anthropocentrism, secularism and corporate
hegemony. Love Based Accounting Education have consequences on learning
process, since it would require Hyper View of Learning. Hyperview of learning
added two learning conceptions to six learning conceptions proposed by Rossum
and Shenk (1984) and Morton et al (1993) in Byrne and Flood (2004) which are:
the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of
meaning, an interpretive process and changing as a person, with a self
awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way
Pendahuluan
Mulawarman (2006b) menjelaskan bahwa sistem pendidikan akuntansi
saat ini telah lepas dari realitas masyarakat Indonesia disebabkan sistem dan konsep
pendidikan akuntansi dibawa langsung dari “dunia lain” (baca: Barat) yang
memiliki nilai-nilai Indonesia sendiri tanpa kodifikasi dan penyesuaian yang
signifikan. Akuntansi merupakan produk yang dibangun dan dikembangkan dari
nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dimana akuntansi dan sistem akuntansi
dikembangkan (lihat misalnya Hines 1989; Morgan 1989; Tinker 1980; Mulawarman
2006a dan banyak lainnya). Akuntansi dan sistem pendidikan akuntansi mmemang
membawavalues (nilai-nilai) “sekularisasi” yang memiliki ciri utama
self-interest, menekankanbottom line laba dan hanya mengakui realitas yang
tercandra (materialistik).
Konsekuensi nilai sekuler ini lanjut Mulawarman (2006b) telah
mengarahkan pendidikan akuntansi dengan tiga karakteristik utama.
Pertama adalah pendidikan
akuntansi sebagai desain ”perangkap hegemoni korporasi” (Mayper et.al. 2005)
serta diarahkan untuk “mengisi” peserta didik dalam memahami kepentingan
ekonomi (Amernic dan Craig 2004). Kondisi yang berlangsung lama ini kemudian
menjadi “dogma” akuntansi yang “universal” dan dilihat sebagai evolusi
pendekatan ekonomi positivistik (Truan dan Hughes 2003).
Kedua adalah pandangan pembelajaran yang dijalankan di Indonesia
masih didasarkan pada konsepsi pembelajaran reproductive view of learning dan
kurang menggunakan konsep “constructive view of learning (Byrne dan Flood
2004).
Ketiga adalah pandangan pembelajaran seperti ini menyebabkan
mahasiswa tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah kontekstual dan selalu
berubah-ubah. Pendidikan akuntansi dengan pandangan pembelajaran reproduktif
jelas tidak dapat melihat pentingnya membekali mahasiswa menjadi pionir-pionir
pemberdayaan masyarakat. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang asing dengan
lingkungannya tetapi lebih akrab dengan dunia bisnis yang bergelimang peredaran
dana ratusan miliar per hari di pasar modal.
Berdasarkan tiga masalah utama pendidikan akuntansi tersebut,
Mulawarman (2008) kemudian mengusulkan Hyper View of Learning sebagai pusat
dari Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta Yang Melampaui (Hiperlove). Mewujudkan
pendidikan akuntansi berbasis cinta adalah akuntabilitas-moralitas yang
berpusat pada nilai-nilai holistik. Ilmu akuntansi tidaklah melakukan
pembatasan ontologis terhadap hal yang mistik dan metafisik yang telah dilakukan
oleh Sain Barat/Modern yang menyebabkannya menjadi materialistik. Tetapi yang
paling penting adalah melakukan proses integrasi dan sinergi rasio dan intuisi
dan menuju nilai spiritual yang dapat memberi kekuatan dalam pengembangan
pendidikan. Cinta yang melampaui memberikan konsekuensi-konsekuensi logis dalam
pendidikan akuntansi.
Konsekuensi Logis Pengembangan Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta
Bentuk hyper view of learning menurut Mulawarman (2006b) adalah
pencerahan dan pembebasan dengan menyetujui perluasan akuntabilitas disamping
untuk kepentingan shareholders/market juga terhadap karyawan, pemasok,
masyarakat alam, dan Tuhan. Itulah akuntabilitas yang didasarkan cinta sinergis
yang egoistis-altruistis dan materialistis-religius. Konsekuensi logis dari
akuntabilitas yang diperluas, akan membebaskan sistem pendidikan dari hegemoni
korporasi sekaligus memberikan nilai tambah (value added) bagi peserta
didik/mahasiswa akuntasi. Lepasnya hegemoni korporasi akan memberikan keluasaan
akuntan pendidik mendistribusikan konsep sampai dengan teknik akuntansi yang
seimbang, seperti konsep dasar teoritis dan teknik akuntansi berbasis
proprietary theory untuk perusahaan kecil, entity theory untuk perusahaan yang
memisahkan manajemen dan pemilik/pemegang saham, atau enterprise theory yang
mencakup akuntabilitas lebih luas. Lepasnya hegemoni korporasi pada gilirannya
menggiring penggalian dan konstruksi dinamis konsep akuntansi bagi akademisi
yang jauh lebih luas daripada yang selama ini ada dan didominasi pengembangan akuntansi
berbasis entity theory. Nilai tambah akan memberikan pemahaman lebih luas
terhadap kepentingan pengambilan kebijakan akuntansi bagi para peserta didik
ketika lulus. Bukan melakukan judgement yang di-kooptasi perusahaan, tetapi
memiliki empati terhadap selain stockholders di dalam lingkungan intern
perusahaan, seperti karyawan, buruh, manajemen misalnya. Empati juga akan
muncul terhadap lingkungan eksternal perusahaan seperti pemasok, lingkungan
alam dan terutama adalah akuntabilitas pribadinya kepada Tuhan. Pada gilirannya
akuntan hasil pendidikan yang bebas hegemoni korporasi meningkatkan ekstensi
empati seperti keinginan untuk melakukan pemberdayaan masyarakatnya dengan
membuat teknik dan prosedur akuntansi yang bermanfaat bagi perusahaan mikro, kecil
dan menengah, koperasi maupun perusahaan berbasis religius tanpa dibayangi
rewardmaterial signifikan.
Konsekuensi lainnya lanjut Mulawarman (2006b) adalah pada
pembelajaran yang secara normatif tidak lagi ditekankan pembelajaran mahasiswa
pada konsepprocedural learning dan surface approach dan juga bentuk konseptual
deep approach to learning, tetapi menekankan pembelajaran kesemuanya dan
sekaligus melampauinya (hyper). Pelampauan (hyper) dalam pendekatan
pembelajaran berdasar enam konsepsi pembelajaran dari Van Rossum dan Schenk
(1984) dan Marton et.al. (1993), perlu penambahan dua konsepsi pembelajaran,
yaitu pendekatan intuitif dan spiritualitas . Delapan konsepsi pembelajaran
(Hyper view of learning) menurut Mulawarman (2006b) adalah sebagai berikut: the
increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning,
an interpretive process and changing as a person, with a self awareness with
intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way.Konsekuensinya
adalah memberikan bekal bagi setiap peserta didik atau mahasiswa akuntansi
untuk dapat mengembangkan gagasan, teori, konsep akuntansi yang relatif baru
dengan keluasan akuntabilitas, bukan bersifat materi yang terbatas
(stockholders dan lingkungan sosial), tetapi juga mengarah pada akuntabilitas
lebih luas (alam dan Ilahiah). Konsekuensi logis konsep pembelajaran yang
melampaui (hyper) ini kemudian tidak lagi mengutamakan dan melihat metodologi
yang digunakan dalam riset akuntansi yang memiliki nilai scientific bila ber-”aroma”
obyektif/kuantitiatif/statitistik/positivistik atau lebih menekankan pada riset
yang ber-“aroma” subyektif/kualitatif/non-statistik/non-positifistik. Tetapi
proses riset dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhannya.