Sejarah dunia penuh dengan cerita pemberontakan
dan pembangkangan kepada para penguasa. Pembangkangan pajak sering menjadi
bagian pentingnya.
Pembangkangan pajak mungkin telah diawali sejak
kaum penguasa mulai membebankan pajak kepada rakyatnya. Sejak itu pula sejarah
pemaksaan dan keterpaksaan pajak dimulai. Pembangkangan pajak bahkan mengambil
peran signifikan dari runtuhnya banyak kerajaan besar di masa lalu, sebut saja
Mesir Kuno, Romawi, Kerajaan Spanyol, dan Aztec.
Banyak pemberontakan dan revolusi bersejarah di
dunia diawali oleh penolakan atas pajak. Sebagian sejarah penting dunia dimulai
dari pembangkangan pajak. Beberapa yang fundamental dan dikenang hingga kini
antara lain Magna Carta, Revolusi Amerika, hingga Revolusi Perancis.
Di zaman Kekaisaran Romawi, Nabi Isa AS pernah
dituduh menginisiasi pembangkangan pajak di kawasan Jerussalem, salah satu
alasan yang menurut kitab suci membawa Nabi Isa menjalani hukumannya.
Di Inggris pada abad ke-11, cerita tentang Lady
Godiva yang melegenda merupakan bentuk dukungan pembangkangan pajak yang
dilakukan masyarakat di kawasan Conventry. Lady Godiva menunggang kuda dalam
keadaan telanjang untuk memprotes kenaikan pajak yang dilakukan oleh suaminya
sendiri, Earl of Mercia.
Pada tahun 1197 ketika Alexius III Angelus
berkuasa di Konstantinopel, ia mencoba menaikkan pajak dalam rangka membayar
uang perlindungan kepada Henry VI. Namun rakyat Konstantinopel menolak untuk
membayar sehingga Alexios harus memikirkan cara lain untuk mengumpulkan uang
upeti.
King John terpaksa menandatangani piagam Magna
Carta di Runnymede, Inggris pada 15 Juni 1215 sebagai akibat pembangkangan
pajak yang dilakukan para bangsawan didukung rakyat yang tidak puas. Magna
Carta disebut-sebut sebagai langkah fundamental dalam proses sejarah panjang
menuju pembuatan hukum konstitusional.
Di Perancis pada tahun 1381, penentangan atas
pajak berkembang menjadi kerusuhan dan pemberontakan di seantero negeri. German
Peasants War yang berlangsung pada 1524-1525 juga merupakan bagian dari
kampanye perlawanan pajak.
Aksi pembangkakan pajak bahkan berlangsung hingga
abad ke-20. Perang sipil di Rusia tahun 1917-1923 merupakan imbas dari pembangkangan
para petani atas pajak berganda yang diterapkan pemerintah. Di Polandia pada
1995, presiden Lech Walesa mengajak rakyatnya sendiri untuk menolak kenaikan
atas pajak penghasilan.
Sangat banyak contoh-contoh pembangkangan pajak
yang bahkan masih ditemukan setelah tahun 2000. Walaupun kebanyakan aksinya
tidak sampai meluas menjadi pemberontakan dan menurunkan sebuah rezim. Namun
itu cukup untuk menggambarkan bahwa kondisi pemaksaan pajak dimanapun tidak
pernah benar-benar diterima.
Sejarah Perpajakan Dunia
Sistem perpajakan pertama yang diketahui berada
di Mesir Kuno sekitar 3000-2800 SM di masa pemerintahan dinasti pertama dari
Old Kingdom. Bentuk paling awal dan paling luas perpajakan adalah rodi dan
tithe (persepuluhan). Rodi adalah kerja paksa yang dibebankan negara kepada
petani yang terlalu miskin, sebagai ganti membayar pajak.
Catatan dari dokumen yang ada, penguasa Mesir,
Firaun akan melakukan tur dua tahunan kerajaan , mengumpulkan persepuluhan dari
penduduk Mesir.
Nabi Yusuf AS mengajarkan kepada rakyat Mesir
bagaimana membagi hasil panen mereka dan memberikan sebagian kepada Firaun.
Pemberian sebesar 20% hasil panen kepada Firaun adalah pajak. Di zaman Nabi
Yusuf, hasil penyisihan inilah yang akhirnya dikembalikan kepada penduduk di
masa sulit.
Di masa Kekaisaran Persia, sistem pajak yang
diatur dan berkelanjutan diperkenalkan oleh Darius I Agung pada 500 SM. Sistem
perpajakan Persia disesuaikan dengan kondisi masing-masing provinsi. Pada saat
itu ada sekitar 20 - 30 provinsi di Kekaisaran dan masing-masing dinilai sesuai
dengan produktivitas yang seharusnya.
Adalah tanggung jawab dari para penguasa provinsi
untuk mengumpulkan jumlah yang jatuh tempo dan untuk mengirimkannya ke kas
negara, setelah dikurangi biaya-biaya. Kuantitas yang diminta dari berbagai
provinsi memberikan gambaran yang jelas tentang potensi ekonomi mereka.
Pada awal Republik Roma (509-27 SM) dikenal
beberapa jenis pungutan seperti censor, questor dan beberapa jenis pungutan
lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut
publican. Pajak langsung yang disebut tributum (pajak atas kepala) dipungut
pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Sesudah abad ke-2
penguasa Roma mengandalkan pada pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia
seperti pungutan atas penggunaan pelabuhan.Di zaman Julius Caesar dikenal
centesima rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan tarif 1% dari
omset penjualan. Di daerah lain di Italia dikenal decumae, yakni pungutan
sebesar 10% (tithe) dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk di
Italia, termasuk penduduk Roma sendiri dikenakan tributum.
Demikian pula di Mesir, pembuatan piramida yang
tadinya merupakan pengabdian dan bersifat suka rela dari rakyat Mesir, pada
akhirnya menjadi paksaan, bukan saja dalam bentuk uang, harta kekayaan, tetapi
juga dalam bentuk kerja paksa.
Di Indonesia, berbagai pungutan baik dalam bentuk
natura (payment in kind), kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama
dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya, terutama
sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan pemerintahan kolonial
Belanda.
Sejarah Pajak Indonesia
Pajak di Indonesia diawali oleh Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). Di masa lalu, PBB lebih dikenal sebagai pajak pertanahan.
Pungutan ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki oleh rakyat
Indonesia. Pemungutan pajak atas tanah ini dimulai sejak VOC dan menduduki
tanah Indonesia. VOC memberlakukan pajak pertanahan yang disebut dengan
landrente. Rakyat terpaksa membayar sejumlah uang dari harga besaran tanah atau
hasil lahan yang dimilikinya.
Selanjutnya, di zaman Gubernur Jenderal Daendels,
pemerintahan kolonial mengklaim bahwa seluruh tanah Indonesia adalah milik
Belanda. Saat itu ia menyebutnya Hindia Belanda. Ia menarik pajak yang tinggi
termasuk dalam bentuk kerjapaksa, yang diantaranya dipergunakan untuk membangun
jalan raya Anyer-Panarukan.
Pada masa kependudukan Inggris, kebijakan
landrente berubah. Gubernur Jenderal Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5%
untuk golongan pribumi dan tarif 5% untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain.
Ketika Belanda kembali berkuasa, muncul gagasan
untuk mengenakan pajak penghasilan. Pada tahun 1920-1921 sudah ada pajak penghasilan
terhadap hasil bumi atau hasil lahan penduduk. Isitlahnya dikenal dengan nama
versponding warde yang berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan
tembakau. Pengenaan tarifnya sebesar 7,5% dari hasil kebun. Pada tahun 1934
diterbitkan Pajak Kendaraan Bermotor. Setelah itu, lahirlah jenis pajak-pajak
yang lain yang berkembang hingga zaman kemerdekaan sampai sekarang.
Patut dicatat, sebagian besar pajak itu lahir
dari pemaksaan. Tidak heran penolakan atas pajak sangat mungkin terus terjadi
dari masa ke masa. *DED/DBS
Sumber :
http://www.iaiglobal.or.id/v02/berita/detail.php?catid=&id=810
Tidak ada komentar:
Posting Komentar