Komitmen pemerintah menerapkan desentralisasi fiskal secara perlahan makin nampak dilihat dari peningkatan dana tranfer setiap tahun. Malahan rancangan awal APBN 2016 yang disodorkan pemerintah ke DPR RI porsi dana transfer kedaerah ditambah dana desa (TKDD) lebih besar dibandingkan dengan belanja Kementerian/Lembaga (K/L). Tapi politik anggaran berbicara lain, sebab DPR memiliki hak budgeting yang dilindungi oleh konstitusi. Frame berpikir anggota legislatif dengan eksekutif berbeda, legislatif berpikir secara sektoral lebih banyak berbicara kepentingan politik dan konstituen, yang dilandasi sikap pragmatis, sementara eksekutif berbicara politik anggaran ke arah ”ideal state” yang didasarkan metodik akademik. Pada akhirnya rancangan APBN 2016 berubah, nuansa desentralisasi fiskal belum terbangun karena belanja K/L kembali mendapatkan belanja lebih besar dibandingkan TKDD. Sekalipun demikian skenario TKDD mulai tahun depan akan mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan belanja K/L, tetapi faktor politik seringkali menjadi variabel penting merubah semuanya.
Ada banyak dugaan yang dapat mendeskripsikan berubahnya porsi belanja K/L dan TKDD, diantaranya kebutuhan anggaran di tingkat K/L masih sangat besar. Sekalipun belanja K/L juga di dalamnya banyak dimanfaatkan di daerah, seperti pembangunan infrastruktur daerah uangnya dari Kementerian PUPR. Selain ada dugaan mekanisme TKDD baik lewat Dana Bagi Hasil, DAU, DAK dan DD sudah memiliki formulasi yang jelas, karenanya godaan untuk jadi ”mafia anggaran” cukup terpagari. Sementara jika belanja K/L sudah menjadi pengetahuan umum, ada banyak tangan yang dapat bermain di area itu. Ada kemungkinan daerah belum siap sepenuhnya memanfaatkan anggaran yang lebih besar. Program desentralisasi harus terus dioptimalkan pada APBN tahun ini Sekalipun dana transfer dari tahun ke tahun terus meningkat signifikan. Tahun 2012 dana TKD sebesar Rp478 triliun, Rp529 triliun tahun 2013, Rp569 triliun tahun 2014, Rp664 triliun tahun 2015, dan 770 triliun pada tahun 2016.
Mayoritas daerah otonom kapasitas fiskalnya masih rendah, dimana penerimaan sendiri masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan dana transfer. Penyebabnya minim inovasi, miskin kreatifitas kepala daerahnya dalam menggali potensi PAD, yang diharapkan adalah tambahan dana transfer. Namun tidak semua dana transfer diefektifkan pemanfaatannya tepat waktu, karena berbagai macam alasan. Salah satu alasan yang terselubung dengan sengaja mengendapkan dana transfer di bank pembangunan daerah untuk mendapatkan gain, yakni bunga simpanan yang dapat menjadi sumber pendapatan daerah.
Simpanan Pemda dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, yaitu Rp92,4 triliun di tahun 2013, naik menjadi Rp113,1 triliun di tahun 2014, dan mencapai Rp99,68 Triliun pada Desember 2015, menurun sebesar Rp147,66 triliun dari bulan sebelumnya November Rp247,36 triliun. Danaiddle tersebut hampir setara dengan defisit anggaran. Defisit anggaran pada APBN 2016 yang dipatok pemerintah sebesar Rp275 triliun, konsekuensi dari anggaran defisit tentu membutuhkan pembiayaan. Pembiayaan defisit anggaran selama ini dibiayai oleh penarikan utang baru, inilah yang mengakibatkan utang kita terus bertambah. Selain itu, Dana SILPA meningkat dari tahun ke tahun, jika pada tahun 2010 mencapai Rp56,6 triliun (13,3 % dari total belanja daerah), maka pada tahun 2014 menjadi Rp124,5 triliun (16,3% dari total belanja daerah). Makin meningkatnya TKDD, kemungkinan iddle dan SILPA juga meningkat, tentu ini kurang sehat bagi perkembangan perekonomian daerah.
Jika dilihat dana Pemda yang menumpuk di perbankan lebih dari separuh merupakan bagian dari belanja modal, sementara bantuan sosial memiliki pola yang sama di hampir semua daerah dimana penyerapannya akan tinggi terlebih di masa Pilkada. Penumpukan dana iddle murni bukan kelalaian Pemda semata, tapi ada persoalan lain juga turut menciptakan keadaan tersebut dimana pemerintah pusat turut memberikan andil, seperti petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan proyek untuk menggunakan belanja modal kerap berubah-ubah, proses tender yang cukup panjang, penggunaan anggaran terlalu earmarked (rigid pengaturannya), sedikit saja menyimpang dari aturan tersebut maka dianggap sebagai pelanggaran hukum, perubahan nomenklatur mata anggaran dan pergantian aparatur yang membidangi pelaksanaan proyek, serta aturan pertanggungjawaban keuangan seringkali menimbulkan multitafsir dimana penegak hukum memiliki pandangan yang berbeda dengan pelaksana kegiatan, pada akhirnya kuasa pengguna anggaran tidak berani melakukan terobosan untuk memanfaatkan anggaran yang telah tersedia. Tentu ini menjadi ranah pemerintah pusat untuk membenahinya, sebab belanja modal (capital expenditure) sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Membiarkan dana Pemda mengendap di perbankan sama saja tidak memikirkan kemajuan negara ini, apalagi pemerintah pusat makin sulit meningkatkan penerimaan lewat pajak yang nantinya akan ditransfer ke daerah. Agar TKDD dapat dimanfaatkan secara efisien dan seefektif mungkin, pemerintah akan memberlakukan transfer non tunai ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) agar dana iddle dapat dikendalikan. Dana yang telah dikonversi ke SBN oleh Pemda kurang memiliki keleluasaan memanfaatkannya, sebab proses likuiditas transfer non tunai lebih lama dibandingkan dengan dana cash yang disimpan di bank yang dapat dimanfaatkan setiap waktu. Efeknya tentu akan banyak kegiatan pembangunan di rencanakan oleh Pemda terhambat. Meskipun begitu konversi dana Pemda ke non tunai tetap ada imbal balik yang didapatkan Pemda, maka dari itu perlu dicermati jangan sampai kebijakan ini hanya menggeser penumpukan dana dari bank ke SBN, sehingga berujung pada penambahan beban APBN.
Transfer non tunai mulai akan berlaku tahun ini, jenis Dana Transfer daerah yang akan dikenakan pinalti transfer non tunai yang berasal dari DBH (DBH PBB Migas, PPh, dan DBH SDA) dan DAU. Sedangkan kriteria daerah yang akan dikonversi dananya, yakni daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah tidak wajar selama tiga bulan anggaran berjalan. Konversi penyaluran dana non tunai yang berasal dari DBH akan dilakukan pada akhir bulan Maret dan Juni, sedangkan konversi penyaluran DAU akan dilakukan awal bulan April dan Juli. Penetapan waktu kuartal pertama dan kedua merupakan siasat pemerintah untuk mendorong percepatan realisasi penyerapan anggaran, sebab yang terjadi selama ini tradisi penyerapan anggaran menumpuk di akhir tahun.
Dugaan itu dapat dibuktikan dimana pada bulan September 2015 dana Pemda di perbankan sebesar Rp291,257 triliun menurun menjadi Rp247,335 triliun pada bulan November, dan di akhir tahun posisi dana Pemda di perbankan sebesar Rp99,678 triliun. Periode September hingga November penyerapannya hanya sekitar Rp43,922 triliun selama tiga bulan, dari bulan November 2015 hingga Desember 2015 melonjak penyerapan sebesar Rp147,657 triliun dalam jangka waktu satu bulan. Kebiasaan ”buruk” sudah harus dihentikan, kesan yang ditangkap Pemda sekedar menghabiskan anggaran dan mengejar target program, bukan lagi motivasinya belanja untuk memperbaiki perekonomian daerah. Kebijakan konversi pada esensinya untuk mendisiplinkan pemanfaatan APBD, baik dari segi waktu terlebih dampaknya terhadap outcome. Setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah diharapkan memiliki efek terhadap kesejahteraan masyarakat. Tidak sekedar mengejar realisasi dan target program belaka. Sejalan dengan hal tersebut, pemanfaatan DAK fisik penyalurannya didasarkan pada kinerja penyerapan, dengan tujuan yang sama agar seluruh dana transfer termanfaatkan secara maksimal untuk menggerakkan perekonomian daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar