Kamis, 21 Mei 2015

Pembangkangan Pajak di Dunia



Sejarah dunia penuh dengan cerita pemberontakan dan pembangkangan kepada para penguasa. Pembangkangan pajak sering menjadi bagian pentingnya.

Pembangkangan pajak mungkin telah diawali sejak kaum penguasa mulai membebankan pajak kepada rakyatnya. Sejak itu pula sejarah pemaksaan dan keterpaksaan pajak dimulai. Pembangkangan pajak bahkan mengambil peran signifikan dari runtuhnya banyak kerajaan besar di masa lalu, sebut saja Mesir Kuno, Romawi, Kerajaan Spanyol, dan Aztec.

Banyak pemberontakan dan revolusi bersejarah di dunia diawali oleh penolakan atas pajak. Sebagian sejarah penting dunia dimulai dari pembangkangan pajak. Beberapa yang fundamental dan dikenang hingga kini antara lain Magna Carta, Revolusi Amerika, hingga Revolusi Perancis.
Di zaman Kekaisaran Romawi, Nabi Isa AS pernah dituduh menginisiasi pembangkangan pajak di kawasan Jerussalem, salah satu alasan yang menurut kitab suci membawa Nabi Isa menjalani hukumannya.

Di Inggris pada abad ke-11, cerita tentang Lady Godiva yang melegenda merupakan bentuk dukungan pembangkangan pajak yang dilakukan masyarakat di kawasan Conventry. Lady Godiva menunggang kuda dalam keadaan telanjang untuk memprotes kenaikan pajak yang dilakukan oleh suaminya sendiri, Earl of Mercia.

Pada tahun 1197 ketika Alexius III Angelus berkuasa di Konstantinopel, ia mencoba menaikkan pajak dalam rangka membayar uang perlindungan kepada Henry VI. Namun rakyat Konstantinopel menolak untuk membayar sehingga Alexios harus memikirkan cara lain untuk mengumpulkan uang upeti.

King John terpaksa menandatangani piagam Magna Carta di Runnymede, Inggris pada 15 Juni 1215 sebagai akibat pembangkangan pajak yang dilakukan para bangsawan didukung rakyat yang tidak puas. Magna Carta disebut-sebut sebagai langkah fundamental dalam proses sejarah panjang menuju pembuatan hukum konstitusional.

Di Perancis pada tahun 1381, penentangan atas pajak berkembang menjadi kerusuhan dan pemberontakan di seantero negeri. German Peasants War yang berlangsung pada 1524-1525 juga merupakan bagian dari kampanye perlawanan pajak.

Aksi pembangkakan pajak bahkan berlangsung hingga abad ke-20. Perang sipil di Rusia tahun 1917-1923 merupakan imbas dari pembangkangan para petani atas pajak berganda yang diterapkan pemerintah. Di Polandia pada 1995, presiden Lech Walesa mengajak rakyatnya sendiri untuk menolak kenaikan atas pajak penghasilan.

Sangat banyak contoh-contoh pembangkangan pajak yang bahkan masih ditemukan setelah tahun 2000. Walaupun kebanyakan aksinya tidak sampai meluas menjadi pemberontakan dan menurunkan sebuah rezim. Namun itu cukup untuk menggambarkan bahwa kondisi pemaksaan pajak dimanapun tidak pernah benar-benar diterima.
Sejarah Perpajakan Dunia

Sistem perpajakan pertama yang diketahui berada di Mesir Kuno sekitar 3000-2800 SM di masa pemerintahan dinasti pertama dari Old Kingdom. Bentuk paling awal dan paling luas perpajakan adalah rodi dan tithe (persepuluhan). Rodi adalah kerja paksa yang dibebankan negara kepada petani yang terlalu miskin, sebagai ganti membayar pajak.

Catatan dari dokumen yang ada, penguasa Mesir, Firaun akan melakukan tur dua tahunan kerajaan , mengumpulkan persepuluhan dari penduduk Mesir.

Nabi Yusuf AS mengajarkan kepada rakyat Mesir bagaimana membagi hasil panen mereka dan memberikan sebagian kepada Firaun. Pemberian sebesar 20% hasil panen kepada Firaun adalah pajak. Di zaman Nabi Yusuf, hasil penyisihan inilah yang akhirnya dikembalikan kepada penduduk di masa sulit.

Di masa Kekaisaran Persia, sistem pajak yang diatur dan berkelanjutan diperkenalkan oleh Darius I Agung pada 500 SM. Sistem perpajakan Persia disesuaikan dengan kondisi masing-masing provinsi. Pada saat itu ada sekitar 20 - 30 provinsi di Kekaisaran dan masing-masing dinilai sesuai dengan produktivitas yang seharusnya.

Adalah tanggung jawab dari para penguasa provinsi untuk mengumpulkan jumlah yang jatuh tempo dan untuk mengirimkannya ke kas negara, setelah dikurangi biaya-biaya. Kuantitas yang diminta dari berbagai provinsi memberikan gambaran yang jelas tentang potensi ekonomi mereka.

Pada awal Republik Roma (509-27 SM) dikenal beberapa jenis pungutan seperti censor, questor dan beberapa jenis pungutan lain. Pelaksanaan pemungutannya diserahkan kepada warga tertentu yang disebut publican. Pajak langsung yang disebut tributum (pajak atas kepala) dipungut pada zaman perang terhadap penduduk Roma sampai tahun 167 SM. Sesudah abad ke-2 penguasa Roma mengandalkan pada pajak tidak langsung yang disebut vegtigalia seperti pungutan atas penggunaan pelabuhan.Di zaman Julius Caesar dikenal centesima rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan tarif 1% dari omset penjualan. Di daerah lain di Italia dikenal decumae, yakni pungutan sebesar 10% (tithe) dari para petani atau penguasa tanah. Setiap penduduk di Italia, termasuk penduduk Roma sendiri dikenakan tributum.

Demikian pula di Mesir, pembuatan piramida yang tadinya merupakan pengabdian dan bersifat suka rela dari rakyat Mesir, pada akhirnya menjadi paksaan, bukan saja dalam bentuk uang, harta kekayaan, tetapi juga dalam bentuk kerja paksa.

Di Indonesia, berbagai pungutan baik dalam bentuk natura (payment in kind), kerja paksa maupun dengan uang dan upeti telah lama dikenal. Pungutan dan beban rakyat Indonesia semakin terasa besarnya, terutama sesudah berdirinya VOC tahun 1602, dan dilanjutkan dengan pemerintahan kolonial Belanda.

Sejarah Pajak Indonesia
Pajak di Indonesia diawali oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di masa lalu, PBB lebih dikenal sebagai pajak pertanahan. Pungutan ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Pemungutan pajak atas tanah ini dimulai sejak VOC dan menduduki tanah Indonesia. VOC memberlakukan pajak pertanahan yang disebut dengan landrente. Rakyat terpaksa membayar sejumlah uang dari harga besaran tanah atau hasil lahan yang dimilikinya.

Selanjutnya, di zaman Gubernur Jenderal Daendels, pemerintahan kolonial mengklaim bahwa seluruh tanah Indonesia adalah milik Belanda. Saat itu ia menyebutnya Hindia Belanda. Ia menarik pajak yang tinggi termasuk dalam bentuk kerjapaksa, yang diantaranya dipergunakan untuk membangun jalan raya Anyer-Panarukan.

Pada masa kependudukan Inggris, kebijakan landrente berubah. Gubernur Jenderal Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk golongan pribumi dan tarif 5% untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain.

Ketika Belanda kembali berkuasa, muncul gagasan untuk mengenakan pajak penghasilan. Pada tahun 1920-1921 sudah ada pajak penghasilan terhadap hasil bumi atau hasil lahan penduduk. Isitlahnya dikenal dengan nama versponding warde yang berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau. Pengenaan tarifnya sebesar 7,5% dari hasil kebun. Pada tahun 1934 diterbitkan Pajak Kendaraan Bermotor. Setelah itu, lahirlah jenis pajak-pajak yang lain yang berkembang hingga zaman kemerdekaan sampai sekarang.

Patut dicatat, sebagian besar pajak itu lahir dari pemaksaan. Tidak heran penolakan atas pajak sangat mungkin terus terjadi dari masa ke masa. *DED/DBS

Sumber : http://www.iaiglobal.or.id/v02/berita/detail.php?catid=&id=810